Mediacenter

SEJARAH SINGKAT DESA SENTANG TELUK MENGKUDU

Begitu memasuki batas Desa Sentang siapa pun akan segera diajak mencium bau khas daerah pinggir laut yang anyir. Lebih kurang sepanjang seratus meter dimulai dari gerbang ucapan “Selamat Datang” -batas antara Desa Sentang dengan desa Sialang Buah- tampak tanah yang selalu basah digenangi air persis di kiri kanan jalan beraspal. Agaknya, dari sinilah sumber bau tak sedap itu. Pepohonan khas pesisir pantai tumbuh subur tepat pada lahan tergenang air tersebut. Kemudian di sebelah kanan jalan terpampang tambak udang tidak terpakai. Sebuah gambaran menunjukkan sisa kejayaan tambak udang yang pernah ada di Desa Sentang.

Sentang adalah sebuah desa kecil di lintasan pantai timur Sumatera Utara. Terletak di Kecamatan Teluk Mengkudu, dan merupakan bagian dari Kabupaten Serdang Bedagai. Sebelum berada di wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai, Desa Sentang masuk dalam kawasan Kabupaten Deli Serdang. Kedua kabupaten ini berpisah berdasarkan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2003. Dengan berada dalam wilayah Serdang Bedagai, diperkirakan Desa Sentang akan maju dalam waktu relatif singkat.

Sejak bergabung pada kabupaten baru ini, tampak jalan-jalan di Desa Sentang dibenahi untuk diperbaiki. Sebahagian sudah diaspal dan sebahagian lagi masih ditimbuni dengan pasir dan batu-batu kerikil kecil. Tapi kelihatannya jalan yang baru diaspal itu pun sudah mulai hancur.

Seorang informan, tokoh masyarakat dan Pengurus Kenaziran Masjid Desa Sentang, H. Muchtar, menceritakan Desa Sentang telah ramai didiami penduduk pada sekitar tahun 1915. Dibuka oleh empat orang Melayu yaitu Alang Madin (Ahmadin), Ulung Malik, Kahar dan Azhar. Sejak awal dibentuknya pemerintahan di Desa Sentang tahun 1949, secara administrasi kepala desa pertama dipegang oleh Siddik bertugas hingga tahun 1955. Selanjutnya berturut- turut Kepala Desa Sentang adalah sebagai berikut: Ahmad Idris, Ulung Dolah, Jhon Sitanggang, Alang Madin, Usman Dalimunte, M.Syahril, K. Siahaan, Kholdun Batubara, Syahdan, Abdul Manan, Solihin dan kepala desa saat ini -yang menang dalam dua kali pemilihan secara langsung- adalah Abdul Wahid.

Ditilik dari namanya, asal usul desa ini terkait erat dengan nama pohon-pohonan. Menurut keterangan informan bernama Haji Muchtar, seorang tokoh masyarakat berusia 60 tahunan, dahulunya desa ini merupakan hutan yang sangat lebat dan di dalamnya terdapat pohon Sentang (Latin: Azadiracha Excels Jack). Waktu itu, pohon Sentang tersebut banyak digunakan masyarakat setempat sebagai papan untuk membuat rumah, dan kulitnya dijadikan tempat menyimpan padi (dalam bahasa Melayu setempat disebut: Kopok).

Dalam sekian banyak pohon Sentang itu terdapat tiga pohon yang sangat besar. Diperkirakan besarnya tiga kali pelukan orang dewasa. Atas dasar itu pula para sesepuh membentuk Desa Sentang menjadi tiga dusun. Pohon Sentang besar tersebut selalu menjadi ingatan setiap orang yang keluar masuk ke desa atau pun hanya sekedar melintas saja. Dari sejak itu masyarakat Melayu di sekitarnya menyebut desa ini dengan nama Sentang. Haji Muchtar sendiri tidak pernah melihat pohon Sentang yang besar itu. Dari informasi yang diterima ia mengambarkan, sebagaimana diceritakan orang tuanya, bahwa pohon Sentang memiliki daun berwarna hijau tua, batangnya agak kemerah-merahan sampai ke urat-urat daunnya.

Orang Melayulah pertama kali masuk dan menetap di desa ini. Kemudian menyusul suku-suku lain seperti Banjar, Batak, Jawa, dan etnik lainnya. Mereka datang dari berbagai daerah dengan tujuan menjadi tempat tinggal atau mencari sumber penghasilan yang lebih baik. Biasanya setiap pendatang baru selalu betah tinggal di Desa Sentang. Orang-orang Melayu Desa Sentang sangat terbuka, sehingga para pendatang segera dapat beradaptasi bersama penduduk setempat.

Sahat, seorang Batak kelahiran Desa Sentang memberi alasan rasional, mengapa para pendatang bisa betah tinggal di Desa Sentang. Dalam pandangannya masyarakat Melayu Desa Sentang sangat toleran, gampang bergaul, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Konflik sebesar apa pun akan diredam dengan pendekatan kekerabatan atau kekeluargaan.

Menanggapi hal ini, H. Muchtar bercerita sesungguhnya orang-orang Melayu Desa Sentang menganggap mereka merupakan satu keturunan. Berakar dari konsep inilah mereka memiliki pandangan kekerabatan (kekeluargaan) yang tinggi dan memiliki hubungan satu sama lainnya. Inilah yang membuat mayarakat Melayu begitu mencintai Desa Sentang. Sehingga meski hidup dalam keadaan miskin, orang-orang Melayu yang tinggal di Desa Sentang enggan meninggalkan daerahnya untuk mengubah nasib atau mencari pekerjaan lain. Begitu juga dengan etnik-etnik lain, karakter khas orang Melayu berdampak pada keberadaan etnik lain yang bisa bertahan dan berkembang hingga kini.

(Dikutip dari buku Yang Terhempas Yang Terdampar karya Dr. Khairul Hakim/Ini Sergai Loh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Latest Posts