Mediacenter

Riwayat Warga Bali di Sergai

Propinsi Bali merupakan salah satu propinsi yang menyimpan peninggalan Agama Hindu tertua di Indonesia. Masyarakat Indonesia mengakui bahwa Bali menjadi pusat agama Hindu di Indonesia, hingga sampai saat ini bentuk-bentuk kebudayaan agama Hindu masih ditemukan di Bali. Sama seperti masyarakat India yang mengaplikasikan kehinduannya dalam menjalankan kehidupannya, demikian juga dengan masyarakat Hindu Bali yang sudah menjadikan agama Hindu sebagai proses hidup pada setiap harinya.

Akibat bencana alam meletusnya Gunung Agung sekitar tahun 60an, pemerintah sempat mengalami krisis kebijakan terhadap pengungsi dan bahkan kekurangan pangan, sehingga beberapa dari pengungsi banyak yang menderita penyakit paru–paru, kelaparan, meninggal dunia. Peristiwa ini membuat jumlah korban gunung Agung menjadi sangat besar.

Keadaan ini akhirnya memaksa pemerintah memikirkan nasib pengungsi, dan sebagai solusinya pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, memutuskan untuk menjadikan pengungsi sebagai masyarakat transmigrasi, salah satunya masyarakat Hindu Bali yang akhirnya pindah ke Serdang Bedagai.

Proses pelaksanaan transmigrasi pada dasarnya dilakukan sebagai pemerataan penduduk oleh pemerintah. Daerah yang berpenduduk padat akan dikurangi penduduknya kedaerah yang tergolong penduduknya sedikit. Proses perpindahan hanya terjadi dalam satu Negara, proses inilah yang dikatakan sebagai transmigrasi. Di sisi lain kontrak kerja mengandung arti persetujuan kerja antara majikan dengan buruh ataupun karyawan. Kesepakatan yang dimaksud dalam hal ini adalah penjelasan hak dan kewajiban antara majikan (pihak perusahaan) dan buruh. Perjanjian kontrak dilakukan sebelum disepakati, yang tujuannya adalah mencari kesepakatan.

Kontrak kerja dan tranmigrasi menjadi solusi terakhir yang diterapkan kepada masyarakat Hindu Bali yang masih ada di pengungsian. Proses pelaksanaan kedua program ini adalah sebagai alternatif terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Hindu Bali. Kontrak kerja yang sebenarnya diterapkan oleh pihak Perusahaan Negara Perkebunan II, mengarah kepada batasan waktu kerja yaitu 6 tahun. Sedangkan penggajian yang diterapkan kepada mereka, sama dengan pekerja non kontrak. Jadi kata yang paling sesuai dengan perjanjian ini adalah perjanjian kerja antara masyarakat Hindu Bali dengan Perusahaan Negara Perkebunan II.

Sebelum tawaran kontrak kerja belum dijadikan sebagai alternatif, masyarakat direncanakan akan mengikuti transmigrasi kedua daerah yang akan dituju, yaitu Kalimantan dan Sulawesi Utara. Masyarakat akan mendapatkan satu unit rumah untuk, 2 (dua) hektar tanah, dan selama waktu produktif belum tiba maka pemerintah akan mengupayakan sendiri biaya operasi mereka. Saat proses administrasi sedang dilakukan, untuk pemberangkatan, pemerintah mendapat tawaran baru dari pihak Perusahaan Negara Perkebunan II, yang mempunyai lokasi tiga propinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Riau, dan Irian Jaya. Sesuai dengan rencananya, masyarakat pengungsi akan dijadikan sebagai tenaga kerja kontrak dengan lama kerja selama 6 tahun. Lokasi yang menjadi penempatan mereka adalah Sumatera Utara, tepatnya kecamatan Perbaungan. Masyarakat yang menginginkan menjadi karyawan kontrak mempunyai keyakinan bahwa lahan pertanian mereka yang tinggal ataupun harta lainnya sudah pulih kembali ketika masa kontrak akan berakhir.

Mereka lebih menginginkan kembali nantinya ke Bali dari pada menetap di daerah perantauan.Waktu 6 tahun sudah cukup untuk menunggu keadaan tanah mereka pulih kembali. Tawaran sebagai kontrak kerja ternyata lebih banyak yang menginginkannya daripada transmigrasi, tetapi jumlah banyak dari mereka tidak memenuhi persyaratan yang dibuat oleh PNP II. Persyaratan yang paling memberatkan bagi masyarakat adalah poin tentang jumlah keluarga, di mana banyak di antara mereka harus benar–benar jumlahnya sesuai dengan yang diinginkan oleh Perusahaan Negara Perkebunan.

Selain persyaratan yang memberatkan sebagai tenaga kontrak di PNP II, jumlah menjadi tenaga kontrak juga dibatasi oleh pihak Perusahaan Negara Perkebunan II, yaitu hanya 60 KK. Akibat dari keinginan masyarakat yang lebih dominan memilih kontrak kerja, persyaratan sebagai untuk tawaran ini semakin diperketat dengan persyaratan umur kerja, tetapi persyaratan ini dapat diantisipasi oleh masyarakat dengan keterangan umur yang tidak valid. Umur mereka tidak bisa dipastikan dengan alasan surat yang memberikan keterangan pribadi sudah hilang akibat letusan gunung Agung.

Sangat sulit mencari keluarga yang permanen seperti yang diharuskan oleh perusahaan, sehingga mereka banyak yang gagal menjadi tenaga kontrak, tetapi disebagian masyarakat Hindu Bali yang berkeinginan menjadi tenaga kontrak tetap berupaya keras mewujudkan keinginannya, dengan cara mengumpulkan beberapa kelompok muda atau yang tidak ada pasangannya menjadi satu kelompok keluarga. Kelompok ini mengaku satu keluarga dengan spespikasi dua orang pria dewasa yang dikatakan sebagai suami istri, dan tiga orang atau lebih kelompok muda yang disebutkan sebagai anak. Dengan taktis yang mereka buat, maka persyaratan menjadi tenaga kontrak terpenuhi.

Momen yang sangat penting pun tiba, ketika masyarakat diberangkatkan ketiga kota, yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Irian Jaya. Bencana gunung Agung sangat membuat masyarakat Hindu Bali yang tinggal di sekitarnya sangat memperihatinkan, yaitu terjadinya perubahan sosial. Mereka harus pindah dari tempat kediaman mereka dan merubah pola hidup mereka setiap harinya.

Seperti umat beragama lainnya masyarkat Hindu Bali membutuhkan tempat untuk beribadah seperti Pura, karena masyarakat lokal yang ada di sana umumnya beragama Islam dan Kristen maka pada tahun 1983 berdirilah bangunan Pura Penataran Dharmaraksaka yang dibangun oleh Organisasi Parisada Hindu Bali Kecamatan Perbaungan.

Pura ini adalah salah satu sektor andalan yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari beragam Obyek Wisata Bahari yang dimiliki Kabupaten ini, Masyarakat Hindu Bali memiliki tradisi Upacara Keagamaan dan kebudayaan yang berbeda dari etnis asli yang ada di Kecamatan Pegajahan. Pemanfaatan potensi alam maupun budaya yang dimiliki Kabupaten Serdang Bedagai menjadi daerah ini sebagai destinasi pariwisata yang mengagumkan dan untuk menambah pengetahuan budaya, yang berbasis lingkungan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat

(Dikutip dari “Pura Penataran Dharmaraksaka Sebagai Wisata Sejarah di Kabupaten Serdang Bedagai” oleh Muhammad Ridho)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Latest Posts